Undangan Press Conference
Desa Setulang, desa kecil dan terpencil namun kaya akan potensi hutan di Kalimantan Timur mendapatkan penghargaan KALPATARU. Penghargaan ini diberikan atas usaha masyarakat Setulang untuk melindungi hutannya dari pembalakan liar, ditengah besarnya godaan untuk mendapatkan milyaran rupiah dari menjual hutan mereka. Perjuangan masyarakat Setulang menunjukan bahwa bukanlah hal yang mustahil bagi ‘rakyat kecil’ untuk bertahan melawan keinginan para pebisnis besar.
Yang terhormat rekan wartawan,
Dengan ini kami mengundang rekan wartawan untuk menghadiri press conference sehubungan dengan penghargaan Kalpataru 2003 yang diterima oleh Desa Setulang untuk kategori Penyelamat Lingkungan, pada:
Kamis, 5 Juni 2003, jam 16:00 WIB
Ruang Operation Room Menteri Kehutanan Blok I Lantai 4
Gd Manggala Wanabhakti, Jakarta
Susunan acara adalah sebagai berikut:
16:00 | Pengantar dan pembukaan oleh Petrus Gunarso, CIFOR |
16:05 | Sambutan singkat oleh Ir. Wahyudi Wardoyo MSc, Sekjen DEPHUT |
16:10 | Video Setulang |
16:20 | Tanya-jawab moderator: Petrus Gunarso Kole Ajang, kepala desa Setulang Drs. Udau Rubinson, M.Si, pendamping dari pemda Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur Ir. H. Kaspoel Basran, MM, pendamping dari propinsi Kalimantan Timur |
17:00 | Coffee break |
Terlampir media backgrounder sebagai bahan referensi.
Untuk konfirmasi dan informasi selanjutnya dapat menghubungi Petrus Gunarso (08129579273), Greg Clough (08128646613) atau Yani Saloh (0811853462).
CIFOR Media Relations
Center for International Forestry Research
Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang,
Bogor Barat, West Java, 16680 – Indonesia
telp :
fax : + 62 251 622100
e-mail: g.clough@cgiar.org atau y.saloh@cgiar.org
web site: https://www2.cifor.org
Perjuangan rakyat kecil desa Setulang untuk bertahan melawan para pebisnis kayu membuahkan KALPATARU
Desa Setulang, desa kecil dan terpencil namun kaya akan potensi hutan di Kalimantan Timur mendapatkan penghargaan KALPATARU. Penghargaan ini diberikan atas usaha masyarakat Setulang untuk melindungi hutannya dari pembalakan liar, ditengah besarnya godaan untuk mendapatkan milyaran rupiah dari menjual hutan mereka. Perjuangan masyarakat Setulang menunjukan bahwa bukanlah hal yang mustahil bagi ‘rakyat kecil’ untuk bertahan melawan keinginan para pebisnis besar.
Desa Setulang di Kalimantan Timur, sebagai salah satu kelompok masyarakat penerima Kalpataru 2003 mendapatkan penghargaan ini untuk kategori Penyelamat Lingkungan. Perjuangan dan komitmen bersama masyarakat desa Setulang untuk menjaga kelestarian hutan disekitarnya membuat Center for International Forestry Research (CIFOR), lembaga penelitian kehutanan internasional mengusulkannya kepada Mentri Negara Lingkungan Hidup sebagai salah satu calon penerima Kaplataru.
Hutan adalah dasar yang penting, seperti yang dikatakan oleh David Kaimowitz, Direktur Jenderal CIFOR , sebagai blok bangunan dari pembangunan yang lestari, yang mencakup air, energi, kesehatan, pertanian dan keanekaragaman hayati.
Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2003, pemerintah memberikan penghargaan KALPATARU kepada masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok yang telah menunjukkan kepeloporan dan memberikan sumbangsihnya bagi upaya pelestarian lingkungan hidup.
Ketika uang bicara mempertahankan hutan disekitarnya bukanlah hal yang gampang, namun masyarakat Setulang menyadari sepenuhnya bahwa ketergantungan mereka terhadap hutan sangat tinggi, terutama berbagai hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, maraknya kegiatan pembalakan liar di wilayah sungai Malinau dan sungai Mentarang tidak mempengaruhi komitmen mereka untuk tetap menjaga keutuhan hutannya.
Desa muda yang berdiri pada tahun 1968 ini terletak di kabupaten Malinau-Kalimantan Timur, mayoritas penduduknya adalah suku Kenyah Uma’Lung, pindahan masyarakat dayak Kenyah dari pedalaman sungai Sa’an di Apo Kayan. Dengan jumlah populasi penduduk 855 jiwa (208 KK) dan luas luas wilayah 11,000 ha., hutan desa Setulang merupakan salah satu hutan primer tropik dataran rendah (lowland tropical forests) yang masih tersisa di dunia.
Beberapa tahun sejak menetap di lokasi baru tersebut, atas kesepakatan bersama, masyarakat memutuskan untuk tidak menggangu hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Setulang, termasuk untuk kegiatan peladangan. Hutan seluas 5300ha yang kemudian disepakati sebagai tane olen (tanah yang dilindungi) dijaga dan dilindungi dari pihak luar seperti larangan masuk wilayah tersebut tanpa ijin, larangan melakukan penebangan liar, penyitaan alat tebang dan penerapan denda bagi pihak luar yang dengan sengaja menebang atau merusak pohon di tane olen.
Pada tahun 1980-1990, kegiatan pembalakan liar di wilayah sungai Malinau dan sungai Mentarang semakin marak, dan saat ini hampir disetiap lokasi yang memiliki potensi hutan cukup bagus dan gampang di akses di kawasan sungai tersebut telah habis oleh kegiatan penebangan. Semakin meningkatnya invansi para investor perusahaan kayu dan HPHH merambah ke desa-desa di DAS Malinau dan Mentarang untuk mengeksploitasi hutan adat, tidak menggoyahkan komitmen desa Setulang untuk untuk tetap mempertahankan kelestarian hutan di tane olen.
Disamping sebagai kawasan hutan lindung, tane olen juga merupakan kawasan lindung bagi penyediaan kualitas air sebagai sumber air bersih bagi kebutuhan penduduk setempat. Sejak adanya proyek penyediaan air bersih masyarakat semakin sadar bahwa tane olen tersebut menjadi sangat penting bagi ketersediaan air bersih bagi kehidupan mereka.
Selain Kalpataru, di tingkat internasional desa Setulang menjadi salah satu finalis water contest yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada bulan Maret 2003. Petrus Gunarso dan Ismayadi Samsoedin peneliti dari CIFOR berinisiatif mengikut sertakan desa Setulang dalam kontes ini karena water contest memberikan kesempatan bagi masyarakat desa menunjukan kegiatan dan perjuangan yang dilakukan dalam mengelola sumber airnya. Meskipun tidak berhasil meraih yang terbaik, kehadiran Ramses Iwan, wakil dari desa Setulang cukup membanggakan. Dari 870 peserta dari seluruh dunia, Indonesia diwakili oleh tiga finalis terpilih dan Setulang merupakan satu-satunya finalis yang diwakili oleh kaum petani.
Setulang adalah satu contoh dari sekian desa yang memiliki hutan yang berjuang mempertahankan kelestarian hutan untuk kepentingan bersama. Kole Ajang kepala desa Setulang menjelaskan bahwa bukanlah pekerjaan gampang menampik bujukan dan tawaran para investor, sudah banyak investor yang menawar hutan mereka, sampai milyaran rupiah dan tawaran tadi bukanlah godaan yang mudah ditolak, mengingat pemenuhan kebutuhan sehari-hari sudah semakin meningkat.
Ditengah maraknya masalah pembalakan liar, deforestasi dan kebakaran hutan akhir-akhir ini, desa Setulang memperlihatkan eksistensinya untuk tetap bertahan melindungi dan melestarikan sumberdaya hutan dan hasil hutan di wilayahnya. Perlindungan, pelestarian dan pengembangan pengetahuan dalam mengelola sumber daya alamnya khususnya hutan mempergunakan kearifan, inovasi dan praktek konservasi tradisional (tane olen) yang mengembangkan nilai-nilai luhur adat istiadat suku dayak Kenyah. Secara tradisional, jauh sebelum model pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah, masyarakat kenyah telah mengenal manajemen land use dalam kawasan hutan dan lahan di wilayah desa, yaitu yang mereka sebut tane jarah (kawasan yang tidak boleh dijamah) dan tane olen.
Lebih jauh Kole Ajang menyatakan bahwa tane olen akan tetap menjadi hutan simpanan bagi sumber air bersih, penyediaan berbagai keperluan masyarakat setempat akan berbagai pasokan hasil hutan untuk bahan baku kerajinan, ukiran, peralatan, bahan rempah, obat-obatan dan bahan mentah lainnya yang terkait dengan adat istiadat dan budaya setempat, yang akan tetap mereka pertahankan bagi anak cucu mereka kelak.
Petrus Gunarso selaku koordinator proyek Bulungan Research Forest (BRF), mengemukakan bahwa model pengelolaan hutan yang baik dan lestari bisa dilakukan bila semua pemangku kepentingan memikirkan rencana pengelolaan hutan secara bersama-sama. Dalam hal ini ada dua kutub ekstrim yang terjadi di dalam masyarakat: kutub pemerintah dan kutub LSM. Keduanya memperjuangkan pengelolaan hutan bagi kemakmuran masyarakat, namun seringkali berbenturan di lapangan. CIFOR berusaha berada di tengah-tengah dan memfasilitasi kedua kutub tersebut.
CIFOR mempromosikan adanya pengelolaan hutan secara kolaboratif di antara semua pemangku kepentingan, baik di pusat, daerah, maupun masyarakat sekitar hutan. Kegiatan CIFOR di Bulungan Research Forest membuktikan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat tidak mesti menuju kehancuran bahkan menjual hutan. Salah satu buktinya adalah hutan yang ‘dikuasai’ oleh masyarakat Setulang ini. Salah satu contoh pendekatan kolaboratif CIFOR adalah proyek yang baru dimulai pada Mei 2003 yang akan membantu pemda Malinau untuk memahami bagaimana keputusan kehutanan yang diambilnya memberikan dampak bagi masyarakat yang tergantung pada hutan. Proyek ini melibatkan staff dari DEPHUT melalui kerjasama resmi dengan CIFOR.
CIFOR mempromosikan adanya pengelolaan hutan secara kolaboratif di antara semua pemangku kepentingan, baik di pusat, daerah, maupun masyarakat sekitar hutan. Kegiatan CIFOR di Bulungan Research Forest membuktikan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat tidak mesti menuju kehancuran bahkan menjual hutnya, contohnya adalah hutan yang ‘dikuasai’ oleh masyarakat Setulang ini. Salah satu contoh pendekatan kolaboratif CIFOR adalah proyek yang baru dimulai bulan Mei 2003, yaitu: ‘Menjadikan Pemerintah Daerah lebih responsif kepada masyarakat miskin melalui penyusunan indikator dan metoda untuk mendukung pengembangan mata pencaharian yang lestari dalam iklim desentralisasi’. Proyek tersebut akan membantu pemda Malinau untuk memahami bagaimana keputusan mengenai pengelolaan hutan diambil dan berdampak pada masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan. Proyek ini juga melibatkan staff dari DEPHUT melalui kerjasama resmi dengan CIFOR.
Masalahnya adalah, bagaimana mereplikasikan kegiatan masyarakat Setulang ini ke masyarakat desa lainnya, yang lebih ingin menjual hutannya. Untuk itulah, pemberian perhatian dan penghargaan semacam KALPATARU akan memberikan contoh bagi masyarakat lain untuk mengikuti jejak masyarakat Setulang. Dengan penghargaan yang diperoleh baik di tingkat nasional atau bahkan internasional maka masyarakat desa setulang khususnya, dan masyarakat kabupaten Malinau pada umumnya dapat memberikan contoh kepada masyarakat lainnya dalam mengelola hutan yang lestari.
Kemenangan ini tentunya akan menjadi kebangaan bagi desa Setulang, dan menjadi pembuktian bahwa perjuangan mereka tidaklah sia-sia. Hal ini menjadi kebanggaan yang berarti sebagai kompensasi "kegagalan" mendapatkan fee. Desa Setulang diharapkan akan tetap dapat mempertahankan komitmen yang sudah mereka perjuangan bersama.
Untuk konfirmasi dan informasi selanjutnya dapat menghubungi Petrus Gunarso (08129579273), Greg Clough (08128646613) atau Yani Saloh (0811853462).
CIFOR Media Relations
Center for International Forestry Research
Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang,
Bogor Barat, West Java, 16680 – Indonesia
telp : + 62 251 622622
fax : + 62 251 622100
e-mail: g.clough@cgiar.org atau y.saloh@cgiar.org
web site: https://www2.cifor.org/