REPUBLIKA.CO.ID, Istilah ‘Spanyol’ alias separuh nyolong lekat dengan produk kayu asal Indonesia. Maraknya pembalakan liar membuat konsumen global kerap ragu membeli kayu produksi Indonesia. Kalaupun laris, harganya bisa jauh lebih murah daripada harga pasaran.
Parahnya lagi, kayu ilegal ini pasti ada pembelinya. Para cukong kerap menunggu pasokan kayu ilegal dari pembalak. Kalau sedang sial, Tim Terpadu yang terdiri dari petugas Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan kepolisian berhasil mendapatkan kembali kayu-kayu tersebut.
Namun akibat jumlahnya yang teramat banyak, kayu yang terlanjur ditebang akhirnya dilelang pula. “Kalau beli di pelelangan, sudah dilengkapi sertifikat kalau kayu itu produk legal,” ujar Direktur Multistakeholder Foresty Programme (MFP) Diah Y Raharjo, Selasa (4/6).
Ketika memasuki era reformasi, kasus pembalakan liar makin menjadi-jadi. Hampir semua lahan areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dilekati dengan konflik lahan dan adat. Jumlah HPH yang awalnya mencapai 600 HPH merosot tajam hanya 80 HPH. Hampir seluruh konflik tidak ada pihak yang bisa diminati tanggung jawab. Kebanyakan konflik selesai dengan bantuan donor yang mendanai proyek-proyek Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Di sisi lainnya, pengusaha terkendala sulitnya mengurus sertifikasi legalitas kayu. Standar kompetensi yang disyaratkan terlampau tinggi. Hal ini membuat pengusaha tidak bisa mendapatkan harga bagus walaupun mendapatkan konsumen mancanegara seperti Belanda dan Italia.
Pemerintah kemudian membuat peraturan yang mewajibkan pengusaha dalam negeri mengikuti skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Terbitlah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.38 /Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011 jo. P.45/2012 tentang SVLK.
Permendag tersebut mewajibkan penyertaan dokumen V-legal yang menyatakan bahwa produk kayu memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Permenhut mewajibkan perdagangan kayu hanya untuk kayu legal, bukan hasil pembalakan.
Saat ini pemerintah masih melakukan sosialisasi terkait SVLK. Sistem ini menganut tiga prinsip utama, yaitu good governance (dalam rangka memperbaiki tata kelola yang baik), representantiveness (keterwakilan dari para pihak) dan credibility (kredibilitas sistem yang dibangun). “Sudah 85 persen pelaku industri besar yang mengurus dokumen SVLK,” ujar Diah.
Ketua Asosiasi Perajin Kayu Jepara (APKJ) Margono mengatakan masih diperlukan sosialisasi mengenai SVLK khususnya untuk perajin kecil. Pemerintah perlu meyakinkan perajin bahwa SVLK penting untuk menembus pasar global kelak. Keengganan perajin dalam mengurus SVLK salah satunya karena biaya administrasi dan pengurusan dokumen yang panjang. Nantinya setelah SVLK berlaku, pengrajin juga menargetkan kenaikan harga jual sebesar 10 hingga 15 persen.
Pemerintah pun menargetkan peningkatan nilai ekspor paska mandat SVLK diterapkan di 2014. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Bahrul Chairi mengatakan di Jepara saja, kini telah terjadi kenaikan permintaan ekspor sekitar 20 persen.
Tahun lalu, nilai ekspor untuk produk kayu asal Jepara mencapai 10,5 miliar dolar AS. Negara yang menjadi target ekspor terbesar antara lain Amerika Serikat, Jepang dan Inggris.”Permintaan akan produk kita stabil meski pertumbuhan perekonomian dunia sedang menurun,” ujarnya.
Reporter : Meiliani Fauziah | Redaktur : Nidia Zuraya
Sumber: Republika Online, 04 Juni 2013