Bogor (Antara Kalbar) – Wakil Bupati Jepara, Jawa Tengah Dr Subroto menyatakan skema sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang bersifat wajib (mandatory) hendaknya tidak dijadikan proyek.
“Apalagi jika mesti diterapkan pada hutan rakyat yang dikelola masyarakat, hendaknya malah ada fasilitasi terhadap SVLK ini,” katanya di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Disela-sela simposium nasional bertema “Value Chains of Furniture, Other Forest Products and Ecosystem Services” yang diselenggarakan PusatPenelitian Kehutanan Antarbangsa/Center for International Forestry Research (CIFOR) dan IPB, ia menjelaskan bahwa pada intinya pemerintah daerah mendukung kebijakan SVLK itu.
Hanya saja, kata dia, hendaknya pemerintah dapat membantu dan memfasilitasi bagi unit-unit pengelola hutan rakyat skala kecil yang belum dalam skala industri.
“Itu hendaknya menjadi perhatian pemerintah, dan jika memungkinkan malah bisa dibiayai dalam prosesnya,” katanya.
Sementara itu, dalam sesi diskusi dengan wartawan yang dipandu Dr Herry Purnomo, peneliti utama dan pimpinan proyek Furniture Value Chains (FVC) CIFOR, dihadirkan sejumlah narasumber.
Narasumber itu, selain Wabup Jepara Subroto, adalah Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan (Fahutan) IPB Dr Didik Suharjito, peneliti senior CIFOR Dr Pablo Pacheco, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Jepara Akhmad Fauzi dan Agus P Djailani dari Multistakeholder Forestry Program (MFP).
Masih hipotesis
Menjawab pertanyaan mengenai apakah jika petani hutan ikut dalam skema SVLK, secara otomatis produk hasil kayu yang mereka tanam itu akan mendapatkan nilai tambah ekonomi, Subroto menegaskan bahwa hal itu masih dalam tataran hipotesis.
Ia menjelaskan, dalam era globalisasi meniscayakan adanya peluang pasar dunia yang terbuka, sehingga juga berpotensi meningkatkan nilai tambah produk, termasuk kayu.
“Namun, setidaknya dengan SVLK maka sudah ada bukti bahwa produk kayu yang dihasilkan itu dilakukan dengan cara legal dan lestari,” katanya.
Sedangkan Didik Suharjito dari Fahutan IPB dan Pablo Pachecho menekankan perlunya pemberdayaan dan pendampingan unit-unit pengelola hutan dalam skala kecil itu untuk mendapatkan akses informasi yang baik.
Keduanya melihat bahwa petani hutan perlu mendapatkan informasi mengenai harga standar kayu, dan juga kemudahan bagi akses permodalan.
Sementara itu, Akhmad Fauzi dari ASMINDO Jepara juga mendukung skema SVLK untuk diterapkan bagi yang telah disetujui oleh berbagai pihak dan bersifat wajib (mandatory).
“Jika dengan SVLK ada nilai tambah ekonomi lebih baik bagi petani hutan, maka peluang yang sama juga ada pada pengusaha,” katanya.
Ia menegaskan perlunya membangun sinergi bersama, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mesti dirugikan dengan skema SVLK itu.
Sedangkan Agus P Djailani MFP memaparkan adanya proyek percontohan yang dilakukan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, di mana terjadi sinergi yang baik antara petani hutan dan industri, khususnya pada komoditas kayu jenis sengon.
“Penelitian mengenai percontohan di Trenggalek itu menunjukkan adanya nilai tambah bagi petani dan jaringannya hingga pada sopir yang mengangkut produksi kayu bagi industri,” katanya. (A035/N005)
Editor: Nurul Hayat
Sumber: Antara Kalbar, 14 Februari 2013